Situs Tugugede Sukabumi




Batu Tegak di Kampung Cengkuk
Situs Tugugede

Kampung cengkuk merupakan kelompok2 kecil pemukiman yang terpencar di lereng perbukitan. Rumahnya bertiang dengan dinding dari bilik, anyaman bamboo halus, lantainya dari palupuh (Bambu), ada juga yang dari papan kayu. Ojeg menjadi moda transportasi yang cepat dan dapat dipergunakan setiap saat.
Kampung cengkuk dapat dicapai dari arah Palabuhanratu ke arah Cisolok, kira-kira 11 KM. kita akan sampai di pertigaan yang menuju Tugugede ,kemudian menyusuri  jalan kecil untuk menuju Lokasi.
Situs Tugugede berada di lembah yang dikelilingi kebun dan sawah yang subur, dengan sumber mata air yang tak pernah kering. Gunung-gunung melingkari tempat sacral ini, menjadi benteng yang sulit ditembus, mulai gunung Batukasang, Gunung Batulawang, Gunung Halimun, Gunung Bodas, dan Gunung Geulis. Tempat ini sedikit terbuka dibagian barat daya, dengan rona bumi yang menurun sampai lembah yang didasarnya mengalir Ci Muja.

Tugugede ini merupakan peninggalan tradisi Megalitik, yang berasal dari kata mega dan lithos, yaitu suatu tradisi yang menegakkan batu-batu besar, tetapi sesungguhnya wujud benda dari batu-batu kecil pun ada bahkan yang terbuat dari kayu atau tanah, bila digunakan untuk tujuan pemujaan arwah leluhur, dapat dimasukan berciri tradidi Megalitik. Bangunan dan benda-benda itu dibuat dan ditegakkan untuk menjadi pengikat dan penghubung antara masyarakat pendukung tradisi itu dengan arwah leluhurnya yang sudah meninggal dunia.

Kekuatan dan kewibawaan pemimpinnya yang sudah meninggal oleh pendukung tradisi itu diwujudkan dengan membangun menhir, batu besar dan panjang yang diberdirikan/ditegakkan. Tujuannya untuk menegakkan kehormatan leluhurnya, agar arwahnya selamat tanpa gangguan dalam perjalanan di alam keabadian. Demikian juga bagi warga pendukung tradisi itu. Dalam menhir terdapat pesan berupa jaminan dari leluhurnya untuk keselamatan dan kesuburan sumber penghidupan.

Dalam sebuah komplek peninggalan sebuah tradisi megalitik, sangat mungkin fungsi dari berbagai artefak itu tidak tunggal untuk pemujaan leluhur. Sebuah artefak semula dimanfaatkan untuk membuat sesaji untuk mendukung ritual.  Namun fungsi artefak itu dapat saja berkembang dan dimanfaatkan untuk tujuan mendukung penghidupan warganya. Demikian juga tentang penghunian dan pemanfaatan situs Tugugede, berkembang sesuai dengan zamannya.

Hai ini dapat dilihat dari artefak yang terdapat disini, mulai dari batu, gerabah, keramik dan logam. Dari fragmen keramik yang disimpan  di ruang penyimpanan artefak, dapat ditelusuri asal keramik itu, ada yang dari Tang, Yuan, Ming, Sung, An Am, dan ada keramik dari Thailand dan Mianmar. Ini artinya warga keturunan dari tradisi Megalitik ini telah berkembang dan terbuka terhadap kemajuan teknologi, serta sudah mengadakan hubungan antar Negara, atau sudah menjalin hubungan “dagang” dengan Negara-negara luar.
Di ketinggian 526m dpl, dengan posisi geografi 60 53” 48” LS dan 1060 30” 34” BT, berdiri perkasa Situs Tugugede, menhir, batu dengan tinggi 370cm, lebar 110cm, dan tebal 70cm sebagai tempat sakral pemujaan leluhur. Terdapat juga dolmen, batu datar yang halus dengan panjang 217cm, lebar 153cm, dan tingginya 35cm dan batu sejenis, karena lebih panjang, oleh penduduk disebut batu kasur, dengan panjang 275cm, lebar 185cm, dan tingginya 25cm.

Kedua batu datar ini berfungsi  sebagai tempat penyimpanan, persembahan atau sesaji. Namun, sebelum ritus ini dilakukan, dolmen ini dapat saja berguna sebagai alas untuk menghaluskan bahan sesaji, bahkan dapat juga dimanfaatkan untuk menghaluskan hasil bumi untuk sumber makanan. Demikian juga batu Dakon, batu datar halus berukuran 260cm, lebar 175cm, dan tingginya 98cm, dengan lima panasang lubang yang berhadapan. Rata-rata diameter lumpang 21cm denga kedalaman lubang rata-rata 16cm.
Batu Dakon ini dipergunakan untuk menumbuk bahan sesaji untuk kepentingan religi, tapi dapat juga berfungsi untuk menumbuk bahan makanan. Demikian dengan lumpang batu dan alu batunya, dapat digunakan untuk kepentingan religi dan profan. Di komplek ini terdapat juga lima batu yang menyerupai kursi dengan sandaran, dua batu jolang dan bentukan lainnya.

Tempat ini telah dihuni mulai masyarakat pendiri Tugugede, terus berlanjut sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari artefak yang ditinggalkannya, berupa artefak batu, gerabah, keramik, dan logam. Penghuniannya terus berlanjut sampai sekarang.

Semula, kampong Cengkuk dibuka ketika kasepuhan di Cikaret mendapatkan “pesan “ agar segera mengikuti Dewi Sri, dengan membuka pemukiman baru yang banyaknya delapan suhunan atau delapan kepala keluarga. Maka dibukalah kawasan Tugugede selama 3 bulan. Kasepuhan tugugede Cengkuk pertamakali dipimpin oleh seorang wanita, Ema Anom, lalu diteruskan oleh Abah Marsuti, dan sekarang oleh Abah Jaya (Sujaya), 62 tahun sejak tahun 2000. Abah jaya menikah dengan Ema Sartiamah (40) tahun dan dikaruniai 9 putra putri.

Zaman sudah jauh berubah, tetapi banyak hal dari kehidupan masyarakat pendukung tradisi Megalitik yang belum terungkap dengan terang. Itulah pentingnya untuk terus menggali pengetahuan tentang masa lalu, untuk dijadikan kekuatan pengembangan masyarakat yang kuat ke depan.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini kami sadur dari artikel T.Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia,  Kelompok Riset Cekungan Bandung dan Dewan Redaksi “Geomagz. Dan diterbitkan di harian umum “PIKIRAN RAKYAT” saptu 27 April 2013

Tidak ada komentar: